Monday, June 30, 2008

Ngaben: upacara kremasi di Bali

Dalam tradisi masyarakat Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang wafat, dipercayai bahwa jiwanya (atman) tetap berada di sekitar tubuh. Tubuh seseorang terdiri dari lima unsur (api, udara, air, bumi dan ruang hampa). Kelimanya harus kembali ke alam semesta untuk dilepaskan sehingga dapat menemukan jalannya menuju surga dan dapat menyatu dengan sang Pencipta. Inilah tujuan upacara-upacara yang dilakukan selama Ngaben. Ngaben mewakili proses upacara panjang yang diadakan sebelum dan selama kremasi.

Persiapan sebelum kremasi

Penanggalan Bali menentukan kapan sebuah kegiatan dapat diadakan dan tanggal yang tepat dipilih oleh seorang pedanda (pendeta tertinggi). Sembari menunggu upacara dilaksanakan, jenazah kadang kala dibaringkan di rumahnya tapi lebih sering dikuburkan terlebih dahulu di pemakaman. Persembahan harian dan pemberian makanan secara simbolis diberikan kepada jenazah. Kopi dan teh juga dipersiapkan beserta sisir, kaca dan sikat gigi yang ditinggalkan di dekat kuburan. Persembahan berupa buah-buahan dan sayuran ditujukan untuk menjauhkan roh jahat dari jiwa orang yang telah wafat, memberikan penghormatan kepada leluhur dan menyenangkan para dewa, terutama Siwa, Dewa Kematian.

Selama beberapa hari, kaum perempuan dalam jumlah banyak akan mempersiapkan berbagai persembahan. Sementara itu, para lelaki mempersiapkan menara kremasi (bade atau wadah) serta bangunan – bagunan yang diperlukan untuk melengkapi persiapan upacara Ngaben. Menara tersebut mewakili alam semesta orang Bali. Pertama adalah dunia bagian bawah (Bhur) dengan kura-kura (Badawang Nala) sebagai dasarnya dan dua ular naga disekitarnya. Di atasnya adalah dunia manusia (Bwah) dan paling atas adalah surga (Swah), terdiri dari atap-atap kecil seperti tingkatan di menara yang terdapat di kuil (meru).

Kremasi

Pada waktu pelaksanaan kremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan langit. Sebuah Bhoma (topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk menakuti roh jahat serta topeng garuda di depan menara yang ditarik oleh keluarga yang ditinggalkan untuk mengantarkan ke tempat kremasi. Para pengusung membawa menara tersebut kemudian diputar di perempatan jalan sebanyak tiga kali, untuk membingungkan jiwa mereka yang sudah meninggal agar tidak dapat kembali.

Prosesi dilanjutkan menuju setra. Prosesi ini didampingi oleh balanganjur, gamelan tradisional, seperti semua upacara orang Bali, untuk mengiringi prosesi menuju tempat kremasi. Jenazah ditempatkan dalam peti dengan bentuk binatang.

Persembahan dan air suci dipercikan di jenazah sebelum kremasi dimulai. Jenazah dibakar, begitu juga menara di tempat yang berbeda. Prosesi kremasi ini dilakukan dengan kombinasi material antara kayu dan minyak tanah. Di bagian akhir, pedanda membunyikan genta untuk membantu jiwa agar mencapai surga.


Setelah kremasi

Sebagian abu dihancurkan kemudian ditempatkan dalam buah kelapa gading yang kemudian dihanyutkan di laut bersama sama dengan bagian sisa kremasi yang tidak hancur. Setelah kremasi, abu dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Setelah upacara Nganyut, diadakan upacara Mepegat di masing masing rumah duka untuk melepaskan ikatan dengan yang telah meninggal.

Bagian terakhir dari upacara, Maligia atau Nyekah yang dilanjutkan dengan upacara potong gigi bagi putra putri yang beranjak dewasa. Ini untuk mensucikan jiwa yang nanti ditempatkan sebagai leluhur di masing masing merajan (tempat suci keluarga).

Persembahan yang sudah diberikan sebagai ucapan terima kasih terhadap Tuhan dan masyarakat sekitar yang telah berpartisipasi di dalam kegiatan selama upacara Pelebon dilaksanakan. Di dalam kepercayaan Hindu, bahwa jiwa yang telah dibebaskan setelah beberapa waktu di surga, ia dapat mencapai tingkat kesatuan dengan Tuhan (moksa) akan kembali bereinkarnasi (samsara) untuk menjalani kehidupan duniawi kembali.